POJOK RENUNGAN (Rm.H.Y.Babey,Pr)

Profil Imam Rm. Herman Yoseph Babey, Pr 

Imam Keuskupan Denpasar berasal dari kampung Wegok, Paroki Mater Boni Consilii Watublapi di Keuskupan Maumere. Lahir di Rumah Sakit Kewapante, 26 Juli 1967 Ditahbiskan pada tanggal 30 Juli 1996 Misa Perdana di Kampung Wegok, 03 Agustus 1996.

S2 Universitas Teresianum Roma Italia tahun 2002, kini bekerja sebagai Direktur Pusat Pastoral (PUSPAS) Keuskupan Denpasar Bali, merangakap Direktur KKI Keuskupan Denpasar, juga Pastor Paroki Maria Imaculata Tabanan Keuskupan Denpasar.



HARUSKAH KITA MENJAUHI ORANG BERDOSA?

“Bukan orang sehat yang memerlukan tabib, tetapi orang sakit. Aku datang bukan untuk memanggil orang benar, tetapil orang berdosa supaya mereka bertobat.” (Lukas 5, 31-32)


Adalah seorang pemuda mengalami penderitaan baru ketika ia berhasil melepaskan cara hidup lama yang negatif dan mulai membangun hidupnya yang baru. Pemuda ini pernah beberapa kali keluar masuk penjara oleh keterlibatannya dalam berbagai bentuk kejahatan. Karenanya ia kemudian dicap sebagai ‘orang jahat dan orang berdosa’ oleh orang-orang yang berada di sekitarnya. Jangankan menyapa dan bertamu di rumahnya, melihat kehadirannya dari kejauhan saja orang-orang membelokkan wajahnya dan berusaha menghindar darinya. Sungguh suatu pengalaman penderitaan yang mengharukan. Betapa tidak! Sesudah bebas dari penderitaan kehidupan masa lampau yang berakhir di penjara,  karena sikap dan perilakunya sendiri, kini ia harus berjumpa dan mengalami penderitaan yang baru di luar penjara, karena sikap dan perlakuan sesamanya.
 
Dalam kehidupan orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat, kelompok orang berdosa tidak mendapat tempat yang layak dalam keseharian mereka. Mereka suka menghakimi kehadiran orang berdosa dan membenarkan praktek menyingkirkan dan mencambuki orang-orang seperti ini. Bagi kelompok elit ini, orang berdosa adalah mereka yang tidak mengenal hukum Allah, yang karena itu biasa melanggar berbagai macam hukum Allah sesuka hatinya. Karena itu kelompok orang berdosa tidak menjadi bagian dari kehidupan mereka. Mereka itu misalnya para pelacur dan pemungut cukai. Orang berdosa seperti itu harus dijauhi seperti  orang berpenyakit menular yang belum ada obatnya. Haruskah kita menjauhi orang berdosa? Bukankah kita juga adalah sama-sama orang berdosa?

Berhadapan dengan cara pandang dari orang-orang Farisi dan ahli Taurat tentang orang berdosa dan sikap penolakkan yang ditunjukkan kepada sesamanya, Yesus menunjukkan kekuatan Kerajaan Allah yang hadir jusru untuk menyelamatkan orang berdosa. Di depan kehidupan orang-orang elit bangsa Yahudi, Yesus berujar, “Bukan orang sehat yang memerlukan tabib, tetapi orang sakit. Aku datang bukan untuk memanggil orang bebar, tetapi orang berdosa” (Lukas 5, 31-36). Kata-kata Yesus ini menunjukkan dengan jelas ketegasan sikap Allah kepada hidup manusia. Di mata Allah semua orang adalah orang berdosa yang perlu ditolong untuk bertobat dan mengalami keselamatan. Jadi kalau Yesus berkata bahwa Ia datang untuk memanggil orang berdosa, itu berarti Ia datang untuk memanggil semua orang. Tergantung dari kita apakah mau mengaku diri sebagai orang berdosa dan apakah mau bertobat dan diselamatkan oleh Allah.
Saudaraku terkasih! Masuklah dalam keheningan dan lihatlah dirimu di hadapan Dia yang tersalib. Berusahlah untuk menemukan kehadiran Yesus yang berujar, “SahabatKU, Aku mengasihi dan mengampunimu. Hendaklah hal yang sama engkau tunjukkan dan berikan kepada sesamamu yang membutuhkannya!”

Tuhanku, kunjungilah hatiku dan tinggallah bersamaku. Datang dan rajailah hatiku! Mari Tuhan, berjalanlah bersamaku, karena aku ini sangat lemah.Peganglah tanganku, karena aku ini sangat rapuh. Tuhan, biarkanlah CahayaMU bersinar dalam kegelapan hidupku, karena aku merindukan kasihMU, Amin.
Tuhan memberkati!



---------------------------------------------------------------------------------

DIA Mengundang Kita Berjalan BersamaNYA 

Kalau kita memperhatikan laju perkembangan hidup manusia saat ini, dengan berbagai macam tingkat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, kita mungkin akan merasa bangga dengan sejumlah kemajuan dalam kehidupan manusia. Seperti, bidang industi, kesehatan, media komunikasi, politik, dan lain-lainnya. Betapa tidak! Kemajuan di beberapa bidang kehidupan manusia tersebut telah menghantar kita untuk sejenak mengakui bahwa kita sementara menjawabi panggilan Allah untuk menjadi rekan kerjaNya dalam melestarikan alam ciptaanNya, seperti yang diperintahkan kepada Adam dan Hawa (Kejadian 1:28). Ini berarti kita sementara menjadi sahabatNya yang baik, yang berjuang mempertanggungjawabkan aneka bentuk kemampuan yang dianugerahkanNya kepada kita. Namun kalau kemajuan di beberapa bidang kehidupan manusia ini justru telah menjauhkan kita dari kemungkinan bersahabat dengan orang lain atau juga telah merusak tatanan nilai kehidupan manusia karena kita mengandalkan kekuatan diri sendiri lalu menggeser peranan Tuhan dalam setiap pengalaman hidup kita, apakah kita masih boleh disapa sebagai pertner kerjaNya? Dan apakah kita masih layak memiliki konsep, “Saya dipanggil untuk menjadi sahabat bagi orang lain?” Jangan sampai kita malahan sementara mengubah konsep dasar kristiani ini dengan “lebih suka menjadi serigala bagi hidup orang lain”.
Yesus adalah pemimpin yang sungguh setia pada kehendak Bapa dalam menyelamatkan manusia. Ketaatan Yesus ini ditunjukkan dengan cara mengorbankan waktu dan tenaga, bahkan nyawaNya sendiri diberikan demi kehidupan sesamaNya. Kepada mereka yang datang mendengarkan ajaranNya, Yesus memberikan kesaksian tentang diriNya sebagai Anak Allah yang datang untuk melaksanakan pekerjaan yang diserahkan Bapa. Pekerjaan itu berupa melaksanakan rencana dan kehendak Allah dalam melepaskan manusia dari dosa dan maut. Yesus melakukan semuanya dengan penuh kasih, tanpa mengenal lelah dan penuh pengorbanan diri. Dalam hidup dan pelayananNya, Yesus menempatkan keselamatan manusia sebagai yang terutama. Ini dibuktikan ketika pada akhirnya Ia rela memberikan diriNya secara total demi menyelamatkan hidup manusia.
Sebagai murid-muridNya, kita pun diundang untuk terus belajar mentaati rencana dan kehendak Allah. Ini dapat kita lakukan dengan cara membuka hati kita, mendengarkan ajaran Yesus dan melakukan apa yang menjadi kehendak Allah. Membangun model ketaatan pada Allah memang tidak gampang dan membutuhkan keberanian dalam mengorbankan diri. Hanya dengan  memiliki iman yang teguh, kita akan mampu berjalan menuju kemuliaan Allah. Ini hanya mungkin menjadi model kehidupan kita, jika kita berani berjalan bersama Yesus yang telah menunjukkan kualitas ketaatan pada kehendak Bapa.

Berjalan Bersama Yesus dalam Membebaskan Mereka yang Tertindas

“Roh Tuhan ada padaKu, oleh sebab Ia telah mengurapi Aku, untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin; dan Ia telah mengutus Aku untuk memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan, dan penglihatan bagi orang-orang buta, untuk membebasakan orang-orang yang tertindas, untuk memberitakan tahun rahmat Tuhan telah datang (Lukas 4, 18 – 19)”. Mencermati kutipan teks Kitab Suci di atas, yang dibacakan Yesus di rumah ibadat ketika kembali ke Nazaret, mengajak kita merefleksikan kembali perjalananan hidup iman kita. Berhadapan dengan panggilan Tuhan untuk berpihak kepada mereka yang kecil dan berkekurangan, yang tertawan dan buta, serta yang berdosa dan tertindas, mungkinkah keseharian kita memang mengalir dari ajakan Tuhan untuk berjalan bersamaNya dalam memberikan daya kehidupan kepada sesama kita, khususnya mereka yang hidupnya dipenuhi dengan berbagai macam tingkat kesulitan dan penderitaan? Beranikah kita menyuarakan pembebasan atas kehidupan manusia yang terpinggirkan dan tertindas, dan semakin terbuka dalam memperjuangkan kesejahteraan bagi hidup manusia? Bukankah di dalam pola hidup seperti inilah, kita telah menunjukkan diri sebagai sahabat Yesus yang baik?
Keberpihakan kita kepada kaum tertindas, terjajah, miskin dan papa adalah kewajiban mutlak dari setiap orang yang mengakui dirinya sebagai murid dan sahabat Yesus. Berhadapan dengan kenyataan hidup manusia yang berdosa dan tertindas, Yesus telah rela tinggal bersama mereka dan turut merasakan berbagai macam penderitaan yang dialami manusia. Ia kemudian melakukan tindakan kasih dan memberikan daya kehidupan kepada sesamanya, bahkan Ia telah merelakan diri-Nya disalibkan untuk membebaskan manusia dari dosa dan maut. Hanya kepada mereka yang tertindas, yang miskin dan yang tidak mempunyai apa-apa didunia inilah, Yesus telah rela menjadi miskin dan hidup bersama orang-orang miskin dan hina, yang kemudian oleh kematianNya di kayu salib telah menjadikan mereka menjadi manusia merdeka dalam Kerajaan Surga. Sikap dan keteladanan Yesus, Sang Pembebas yang kita imani ini, kiranya mendorong kita untuk ikut serta secara nyata untuk melakukan tindakan kasih yang menyelamatakan hidup sesama kita.
Kualitas hidup kita yang sebenarnya bukan ditunjukkan dengan memiliki sejumlah kekayaan duniawi, merasa gembira dan bahagia dengan harta duniawi lalu melupakan mereka yang miskin dan berkekurangan, tetapi hidup yang berkualitas ditemukan dan menjadi milik kita ketika kita merasa kecil dan papa dihadapan Allah. Kesadaran diri ini sekaligus mendorong kita untuk secara rutin menterjemahkan hidup kita dalam terang rencana dan kehendakNya. Ini berarti kita harus membangun kehidupan kita yang khas kristiani, yakni mau dengan rela dan berani bertanggungjawab atas perjalanan hidup sesama, dan terbuka dalam memberikan daya kehidupan kepada orang lain yang ada di sekitar kita, khususnya mereka yang miskin, orang-orang buta,  para tawanan dan kaum tertindas.

Berjalan Bersama Yesus Sambil Bertobat

            "Barangsiapa mempunyai dua helai baju, hendaklah ia membaginya dengan yang tidak punya, dan barangsiapa mempunyai makanan, hendaklah ia berbuat juga demikian (Lukas 3, 11)”. Di hadapan begitu banyak orang yang datang kepadanya untuk dibaptis, Yohanes mewartakan tentang kehadiran Kerajaan Allah yang sudah dekat, dan beberapa nasihat ilahi yang harus dijalankan oleh setiap mereka yang ingin mengalami keselamatan dari Allah. Hidup sesuai dengan kebenaran dan cinta kasih kepada sesama adalah prasyarat penting bagi setiap orang dalam menggapai realitas cinta Allah. Setiap orang dituntut membuka diri akan kehadiran dan kebutuhan sesamanya yang berkekurangan dan menderita. Sejumlah kebijakan hidup ini merupakan persiapan bagi kedatangan Yesus sebagai raja yang berkuasa, yang membawa tuntutan yang berat demi terciptanya kesejahteraan hidup bersama. Kedatangan Yesus juga akan membawa ramat dan kebahagiaan bagi setiap mereka yang percata kepadaNya.
Warta gembira Kerajaan Allah memang bukan merupakan ancaman untuk menakut-nakuti hidup manusia, melainkan warta yang menuntut sikap mendengarkan dan menjalankan hidup iman kekristenan dengan penuh tanggung jawab. Jadi hanya mereka yang memiliki cinta kasih kepada Allah dan kepada sesama, dan yang menjalankan hidupnya dibawah bimbingan Roh Kudus, yang akan mengalami kasih dan kemurahan Allah. Dengan demikian seluruh hidupnya terarah kepada Kerajaan Allah sebagai tujuan akhir hidupnya. Akan tetapi bagi mereka yang tidak berjuang hidup seturut tuntutan Kerajaan Allah, akan mengalami penderitaan yang tak berkesudahan.
Perjalanan hidup kita harus diletakkan pada nilai keselamatan kekal yang direncanakan Allah, dengan menjadikan Yesus sebagai pusat kehidupan kita. Jika kita menemukan hidup ini sementara berjalan di luar kasih Allah, maka kita perlu masuk dalam pertobatan yang radikal untuk mengembalikan tujuan asli hidup kita. Allah selalu memberikan kesempatan kepada kita untuk berbenah diri dan  melakukan hidup kita secara baru di dalam kasih kepada Allah dan kepada sesama.

Penutup 

Di tengah arus kehidupan kita yang bergelombang dan penuh dengan tantangan zaman, kita perlu meningkatkan kualitas perjalanan hidup kekristenan kita, dengan cara mempertajam hidup iman kita. Harus kita sadari, hidup iman kita baru bermakna, kalau kita mampu mendengarkan bimbingan Roh Allah dan membiarakan diri kita diatur olehNya. Terhadap undangan Yesus untuk berjalan bersamaNya, harus kita tanggapi dengan penuh iman. Kita harus selalu mempunyai waktu untuk datang kepada Yesus, belajar daripadaNya dan bersama Yesus kita membangun hidup kita menuju perjumpaan dengan Allah yang menyelamatkan.
            Masa Prapaskah, yang adalah masa retret agung kita, harus kita jadikan sebagai tahapan penting dalam hidup kita, yang memungkinkan kita menyadari akan undangan Yesus untuk berjalan bersamaNya, mulai dari Getzemani kehidupan kita, menyusuri Jalan Salib kehidupan kita dan berakhir pada Kalvari kehidupan kita. Hanya di dalam tahapan perjalanan iman seperti inilah, kita mengalami kehadiran Allah yang menyelamatkan. Mari kita satukan niat, pikiran dan hati kita, untuk selalu berjalan bersama DIA!
-------------------------------------------- 

http://luxveritatis7.wordpress.com/2011/11/26/quid-est-veritas-kebenaran-tentang-gereja-katolik/