Selasa, 16 Agustus 2011

JASAMU TAK TERKIRA, JASAMU TIADA TANDANYA


Theodorus Surat
Theodorus Surat, seorang Guru Sekolah Dasar yang lebih dikenal dengan sebutan Pak Dorus, dilahirkan di Wegok pada tanggal 07 Mei 1940. Setelah bersekolah di SRK Botang, Watublapi  sosok yang sangat jago musik ini kemudian pindah ke SRK Lela I di Lela, karena SRK Botang di Watublapi dibakar beberapa kali akibat Politik Kanilima oleh Moan Jong. Pada tahun 1954 dipindahkan kembali ke SRK Botang  dan tamat tahun 1955.  Ayahnya yang adalah seorang petani kecil di dusun Wegok sempat ketiadaan biaya untuk melanjutkan sekolah anaknya ini. Namun hal ini tetap tidak menyurutkan semangat petani ini, Ia kemudian membawanya  ke  Maumere untuk disekolahkan pada jenjang yang lebih tinggi, yakni Sekolah Guru Bawah (SGB) Maumere. Selama di SGB sosok muda ini belajar Ilmu keguruan, atau didaktik metodik dan ilmu-ilmu lainya yang berhubungan dengan pengelolaan sebuah sekolah dasar.

Naluri musiknya yang bagus membuat Guru ini kemudian meluangkan waktu khusus untuk belajar secara extra tentang musik dan pernak-perniknya, sebut saja Harmonum, Gitar, Biola.dan Olah Vocal yang memang sangat popular saat itu. Sehingga sebelum ia menamatkan sekolahnya di SGB Maumere ia sudah menjadi seorang musisi yang cukup populer pada masa mereka. Hal ini dibuktikan ketika beberapa kali mengisi waktu liburan ia sempat memimpin koor di Gereja Materboni Consilii Watublapi dan sempat membentuk  Group Music di kampung Wegok dan sekitarnya, juga ada banyak lagu yang ia buat yang kemudian menjadi tenar di era meraka, seperti Nukak Ami, Ulit Lusi Hama-Hama, Kasi Ora Wine, Me Blutuk Bai Muri, Dolor Wolon dan sejumlah lagu Rohani dll.
Penataran Kepala SD Model di Kupang Tahun 1998
Setelah menamatkan SGB pada tahun 1959 ia lalu mengabdikan dirinya sebagai seorang guru muda yang mana sesuai aturan kala itu harus bekerja purna waktu dan tanpa imbalan apapun pada satu tahun pengabdian pertama. Namun masa sulit ini berhasil dilalui tanpa ada hambatan berarti karena  semangat dan daya juang  yang tidak pernah surut.
Karir gurunya dimulai dari SRK Botang di Watublapi pada tahun ajaran 1959/1960, dan dipindahkan ke SDK Hewokloang pada tahun 1960 s/d tahun 1961. Dua dari muridnya yang punya nama saat ini adalah Mgr Edmundus Woga, uskup Weetabula dan Drs. Sosimus Mitang, Bupati Sikka periode 2008-2013. Kemudian atas permintaannya sendiri ia dipindahkan ke SRK Ona Palue pada bulan Agustus 1961. Namun karena Gunung Rokatenda meletus pada Desember tahun 1961 maka ia bersama rekan-rekan lainya mengungsi dan pulang ke Maumere. Salah seorang muridnya di SRK Ona adalah Wakil Bupati Sikka Periode 2008-2013, dr. Wera Damianus, MM.
Penataran Kepala SD Desa Tertinggal - Kupang, 1995
Setelah itu oleh sanpukat ia ditempatkan di SRK Rohe s/d tahun 1962, kemudian atas usaha Pater Bollen,SVD ia dikembalikan Ke SRK Botang di Watublapi. Di tahun 1965 ia dipindahkan ke SDK Botang II Maget di desa Wolomapa. 

Setelah tujuh tahun mengajar di sekolah ini pemerintah mengeluarkan aturan mengenai ijasah minimum bagi seorang guru SD, maka ia bersama teman-teman guru tamatan SGB lainnya diharuskan mengikuti pendidikan lanjutan, setingkat SLTA yang mereka sebut Kursus Pendidikan Guru (KPG) yang dilakukan pada sore hari setelah proses KBM di SD usai.
Kemudian pada tahun 1975 guru yang penuh inovasi ini dikembalikan ke SDK Watublapi, dan pada Tahun 1976 ia diangkat oleh Sanpukat menjadi Kepala SDK Watublapi (dikukuhkan dengan  oleh SK Gubernur pada tahun 1980). Bekal ilmu KPG kemudian benar-benar diterapkan dalam proses pengelolaan sekolah hingga pada tahun 1978 bersama Bp Guru Robertus Dasi berhasil mendorong SD ini sampai ke pintu sekolah Favorite (model) dimana prosentase kelulusan EBTANAS selalu 100% . Hal serupa juga terjadi pada SD-SD lainnya yang pernah dikepalainya.
Sepeda motor, menjadi kendaraan utama bagi keluarga
Tahun 1983 seiring dengan didirikannya SD Inpres Liwubao, ia dipindahkan ke SD ini, sebagai orang pertama yang meletakan dasar-dasar pengelolaan pada SD baru ini. Atas inisiatifnya bersama Bp. Guru Hende Retong alm. untuk tukar tempat mengajar, maka pada tahun 1984 ia dipindahkan ke SD Inpres Baomekot. Pada kesempatan ini ia diangkat menjadi ketua Rayon guru-guru Watublapi yang meliputi Watublapi-Kloangpopot sampai Habibola dan Waidahi.
Pada tahun 1987 dari Inpres Baomekot kemudian dipindahkan ke SD Inpres Watuwekak, Napun Seda sampai tahun 1988. Kemudian atas usaha ketua POMG Watublapi, alm. Zakarias Sareng ia dikembalikan ke SDK Watublapi.
Sedangkan dalam bidang seni musik Guru yang pernah mengajar Ilmu Musik dan PMP (PPKN) di SMP Hewerbura dan menjadi organis di Gereja Watublapi ini mencatat sejumlah keberhasilan, SDK Watublapi, pernah menjuarai lomba pop singer di banyak event baik di tingkat kecamatan maupun di tingkat Kabupaten, juga group musik yang dibentuknya kemudian menjadi sangat terkenal pada masa itu sehingga mendapat berbagai pesanan bermain musik di banyak tempat, di Heo dan Egon Lere misalnya.
Setelah menjalani masa pensiun Bapak Guru ini hijrah kembali ke Wegok, kampung dimana ia berasal dan dibesarkan. Bagai pejuang yang tangguh iapun menembus ruang dan waktu,tidak perduli pada zaman apa, pada umur berapa dan pada situasi apa, berbagai jabatan sosial baik itu di pemerintahan maupun di bidang keagamaan kemudian diembankan ke pundaknya. Hingga pada tahun 2010 bersama Bp. Drs. Sebastianus Bata dan Bp. Fransiskus Xaverius, mendirikan SD  di Kampung Wegok yang merupakan SD kaki dari SD Inpres Baomekot. (ths)

Selasa, 09 Agustus 2011

"BITONG", dari Puho ke Wegok

Lepo Gesok dan Warisan Keron kepada Surat
Terdapatlah sebuah Bukit kecil di sebalah barat Dusun Wegok ( ± 3 Km ) yang dikenal dengan nama Hutan Kajowair. Selain sangat subur hutan inipun ditumbuhi oleh banyak umbi-umbian buah- buahan serta sayuran hutan yang dapat dikonsumsi setiap saat. 

Menghindari perang lokal antara Teka dan Toru  melawan Belanda yang tengah berkecamuk di bumi Sikka, seorang anak muda yang bernama Bitong lari dari  kampung halamannya sendiri di Puho desa Iligai, Lela. Dalam peperangan tersebut Moan Timu. (berasal dari tarung gawang) salah seorang teman Teka, dan kawan-kawannya berhasil membakar gereja Sikka, yang kala itu dipimpin oleh R.P. J.F. Le Cocq D'armandviile, SJ sementara Teka berhasil membakar Gereja Koting di kampung Koting, sehingga membuat raja Sikka dan Belanda marah besar dan mengancam akan membalas perbuatan Timu,  Teka dan teman-temannya.  Takut akan ancaman ini, Bitong berrsama saudara-saudaranya (Tepong, Lado, Gesing, Pedan, Dua Timu dan Dua Sareng), pergi meninggalkan kampung halaman mereka di Puho-Tarunggawang, Desa Iligai, Kec, Lela untuk mencari tempat tinggal yang baru, jauh dari ancaman perang lokal melawan penjajah saat itu . Setelah berjalan berhari-hari ke arah Timur sampailah mereka di Hutan Kajowair ini. Kagum akan suburnya hutan ini sementara  letaknyapun agak tersembunyi Bitong dan saudara-saudaranya memutuskan untuk tinggal di tempat yang kemudian menjadi nama Desa yang terdiri dari empat dusun terdekat ini (Watublapi, Wegok, Riidetut dan Watudenak),  dan mulai membukanya untuk  Ladang bercocok tanam.

Guru Theodorus, Putra Sulung Surat dan Istrinya Maria Germina
Karena kampung satu-satunya terdekat waktu itu adalah Wegok maka kemudian Bitong dan  saudara - saudaranya lebih sering berkunjung ke Dusun ini, sampai pada suatu saat mereka memutuskan untuk menetap di Kampung ini, lalu Bitong membeli sebidang tanah dari penduduk asli Wegok dengan harga lima rupiah, sementara Kajowair tetap menjadi Ladang bagi mereka untuk berkebun dan bercocok tanam.

Setelah beberapa tahun kemudian Bitong berkenalan dengan seorang dara cantik, Du'a Glengan, putri Moan Gogu dari Lepo Gogu dan Du'a Woga dari Lepo 'Lora Hewokloang dan berhasil menjalin tali cinta bersamanya. Mereka akhirnya menikah dan melahirkan 2 orang anak perempuan, Tali dan Pare serta 3 anak laki-laki, Lero, Surat dan Marung. 

Namun setelah kelima anak mereka beranjak dewasa, Glengan kemudian diperistri oleh Deteng dari Lepo Buwun Gajon secara tidak syah. karenanya, Deteng harus membayar denda adat atas tuduhan merampas istri Bitong. Deteng kemudian menggadaikan sebidang tanah di Koja Deler,  Dusun Wegok dengan satu batang Gading dari keluarga Bapa di Ihigetegera, untuk  denda adat ini. Dari hasil hubungannya dengan Deteng, Glengan kemudian melahirkan satu orang anak laki-laki dan satu orang anak perempuan, yang diberi nama Panus dan Juli. Kedua anak ini kemudian diakui oleh Bitong sebagai anaknya sendiri. Namun setelah Bitong meninggal, Glengan kembali hidup bersama Deteng secara syah.

Dalam perjalanan Sareng akhirnya menikah dengan Keron dari Lepo Gesok, namun tidak memiliki anak. Maka kemudian Sareng dan Keron pergi menghadap Bitong dan meminta Surat untuk diangkat secara adat , "Wihi Tai Temo Dulak, menjadi anak mereka yang syah.

Untuk itu keluarga Lepo Gesok harus memberi sejumlah belis sebagai ikatan syah atas masuknya Surat kedalam  keluarga Lepo Gesok. Kemudian keluarga Gesok (Lado, Sina. Nuba dan Keron bersama Sareng) pergi menghadap Bitong dan keluarga Puho dengan membawa satu ekor Kuda Jantan dan Kalung emas, namun kemudian Kalung Emas ini oleh Orang Puho di tolak, maka  mereka menggantinya dengan satu pasang Gelang Gading Kebesaran (Mone).

Wihi Tai Temo Dulak atau disebut Wihi e Inat Tait, Temo e Amat Dulak memiliki makna yang sangat kuat, ini berarti Surat lahir ke dunia oleh hubungan suami istri dari Keron dan Sareng. Dengan demikian maka segala hak dan wewenang Keron dalam Lepo Gesok harus menjadi hak anaknya, dalam hal ini Surat.