Selasa, 09 Agustus 2011

"BITONG", dari Puho ke Wegok

Lepo Gesok dan Warisan Keron kepada Surat
Terdapatlah sebuah Bukit kecil di sebalah barat Dusun Wegok ( ± 3 Km ) yang dikenal dengan nama Hutan Kajowair. Selain sangat subur hutan inipun ditumbuhi oleh banyak umbi-umbian buah- buahan serta sayuran hutan yang dapat dikonsumsi setiap saat. 

Menghindari perang lokal antara Teka dan Toru  melawan Belanda yang tengah berkecamuk di bumi Sikka, seorang anak muda yang bernama Bitong lari dari  kampung halamannya sendiri di Puho desa Iligai, Lela. Dalam peperangan tersebut Moan Timu. (berasal dari tarung gawang) salah seorang teman Teka, dan kawan-kawannya berhasil membakar gereja Sikka, yang kala itu dipimpin oleh R.P. J.F. Le Cocq D'armandviile, SJ sementara Teka berhasil membakar Gereja Koting di kampung Koting, sehingga membuat raja Sikka dan Belanda marah besar dan mengancam akan membalas perbuatan Timu,  Teka dan teman-temannya.  Takut akan ancaman ini, Bitong berrsama saudara-saudaranya (Tepong, Lado, Gesing, Pedan, Dua Timu dan Dua Sareng), pergi meninggalkan kampung halaman mereka di Puho-Tarunggawang, Desa Iligai, Kec, Lela untuk mencari tempat tinggal yang baru, jauh dari ancaman perang lokal melawan penjajah saat itu . Setelah berjalan berhari-hari ke arah Timur sampailah mereka di Hutan Kajowair ini. Kagum akan suburnya hutan ini sementara  letaknyapun agak tersembunyi Bitong dan saudara-saudaranya memutuskan untuk tinggal di tempat yang kemudian menjadi nama Desa yang terdiri dari empat dusun terdekat ini (Watublapi, Wegok, Riidetut dan Watudenak),  dan mulai membukanya untuk  Ladang bercocok tanam.

Guru Theodorus, Putra Sulung Surat dan Istrinya Maria Germina
Karena kampung satu-satunya terdekat waktu itu adalah Wegok maka kemudian Bitong dan  saudara - saudaranya lebih sering berkunjung ke Dusun ini, sampai pada suatu saat mereka memutuskan untuk menetap di Kampung ini, lalu Bitong membeli sebidang tanah dari penduduk asli Wegok dengan harga lima rupiah, sementara Kajowair tetap menjadi Ladang bagi mereka untuk berkebun dan bercocok tanam.

Setelah beberapa tahun kemudian Bitong berkenalan dengan seorang dara cantik, Du'a Glengan, putri Moan Gogu dari Lepo Gogu dan Du'a Woga dari Lepo 'Lora Hewokloang dan berhasil menjalin tali cinta bersamanya. Mereka akhirnya menikah dan melahirkan 2 orang anak perempuan, Tali dan Pare serta 3 anak laki-laki, Lero, Surat dan Marung. 

Namun setelah kelima anak mereka beranjak dewasa, Glengan kemudian diperistri oleh Deteng dari Lepo Buwun Gajon secara tidak syah. karenanya, Deteng harus membayar denda adat atas tuduhan merampas istri Bitong. Deteng kemudian menggadaikan sebidang tanah di Koja Deler,  Dusun Wegok dengan satu batang Gading dari keluarga Bapa di Ihigetegera, untuk  denda adat ini. Dari hasil hubungannya dengan Deteng, Glengan kemudian melahirkan satu orang anak laki-laki dan satu orang anak perempuan, yang diberi nama Panus dan Juli. Kedua anak ini kemudian diakui oleh Bitong sebagai anaknya sendiri. Namun setelah Bitong meninggal, Glengan kembali hidup bersama Deteng secara syah.

Dalam perjalanan Sareng akhirnya menikah dengan Keron dari Lepo Gesok, namun tidak memiliki anak. Maka kemudian Sareng dan Keron pergi menghadap Bitong dan meminta Surat untuk diangkat secara adat , "Wihi Tai Temo Dulak, menjadi anak mereka yang syah.

Untuk itu keluarga Lepo Gesok harus memberi sejumlah belis sebagai ikatan syah atas masuknya Surat kedalam  keluarga Lepo Gesok. Kemudian keluarga Gesok (Lado, Sina. Nuba dan Keron bersama Sareng) pergi menghadap Bitong dan keluarga Puho dengan membawa satu ekor Kuda Jantan dan Kalung emas, namun kemudian Kalung Emas ini oleh Orang Puho di tolak, maka  mereka menggantinya dengan satu pasang Gelang Gading Kebesaran (Mone).

Wihi Tai Temo Dulak atau disebut Wihi e Inat Tait, Temo e Amat Dulak memiliki makna yang sangat kuat, ini berarti Surat lahir ke dunia oleh hubungan suami istri dari Keron dan Sareng. Dengan demikian maka segala hak dan wewenang Keron dalam Lepo Gesok harus menjadi hak anaknya, dalam hal ini Surat.

4 komentar: